Perkawinanku yang telah berusia tujuh tahun tergolong mulus dan memberi
banyak kebahagiaan. Tetapi tidak sejak enam bulan lalu, tepatnya setelah
istriku Neni terkena kanker payudara dan terpaksa salah satu miliknya
itu harus diangkat. Neni menjadi sangat murung dan kehilangan gairah
hidup. Bahkan ia memutuskan keluar dari tempatnya bekerja di sebuah
perusahaan swasta.
Kuakui, dengan hilangnya salah satu payudara di tubuh Neni, ada sebagian
pesonanya yang hilang. Bila ia telanjang, kurasakan ada sesuatu yang
hilang. Sepasang buah dadanya yang sangat montok dan selalu menjadi
pelampiasan gairahku kini tinggal satu. Bagian yang lain menjadi rata
dan bahkan ada semacam luka parut yang sangat mengganggu. Namun karena
aku tak mau menyakitinya, kuanggap itu bukan masalah. Bahkan kerap
kuyakinkan bahwa aku tak pernah berpikir untuk meninggalkannya.
Tetapi tidak bagi Neni. Kehilangan payudara menjadikannya hilang rasa
percaya diri. Setiap hari hanya berbaring di tempat tidur. Tidak mau
mengerjakan apa pun termasuk mengurus Lani, putriku yang berusia 3 tahun
anak kami satu-satunya. Untung ada ibu mertuaku yang memutuskan tinggal
bersama kami setelah Neni menjalani operasi. Dan karena ibu mertuaku
itulah segala pekerjaan rumah menjadi beres termasuk memasak dan
mengurus Lani.
Malangnya, Neni sama sekali menolak diajak berhubungan intim sejak mulai
sakit dan sampai payudaranya diangkat. Ia malah selalu menyuruhku untuk
mencari wanita pengganti karena menurutnya ia sudah tidak pantas lagi
melayaniku. Maka sebagai laki-laki berusia 33 tahun (istriku berumur 28
tahun), yang masih sangat potens dalam soal seks, aku sering merasa
puyeng. Mau mencari kepuasan ke WTS aku merasa jijik. Di samping dipakai
banyak orang, pasti membawa penyakit berbahaya.
Pernah melintas pikiran buruk untuk merayu ibu mertuaku. Usia ibu
mertuaku sudah 53 tahun dan telah menjanda sejak kematian suaminya tiga
tahun lalu. Pikiran ngeres itu muncul setelah aku sempat memergokinya
mengenakan pakaian yang sangat minim. Suatu hari ia sedang mandi.
Tiba-tiba dari arah dapur tercium bau gosong nasi yang sedang ditanak.
Aku yang sedang memberi makan burung di dekat dapur jadi berteriak.
"Bau gosong apa nih Bu, nasi yah?" ujarku saat itu karena tidak tahu ibu mertuaku ada di kamar mandi.
Ibu mertua yang mendengar teriakanku langsung lari keluar dari kamar
mandi. Tubuhnya yang masih basah kuyup, karena belum selesai mandi,
hanya dililit handuk yang berukuran tak cukup lebar. Hanya menutup dada
dan sedikit di bawah pangkal pahanya. Dengan tergesa ia segera
mengangkat panci, mematikan kompor dan memindahkan nasi ke magicjar agar
nasi tidak berbau gosong semua.
Saat itulah, saat ibu mertuaku melakukan segala aktivitas itu, aku bisa
melihat sebagian tubuh ibu mertuaku yang belum pernah kulihat. Kulit ibu
ternyata lebih bersih dibandingkan kulit Neni, istriku. Buah dadanya
kurasa juga lebih besar dibanding kepunyaan Neni. Hanya mungkin sudah
agak kendur. Aku tidak bisa memastikan karena belum pernah menyentuhnya
dan saat itu terbelit oleh handuk yang dililitkannya.
Namun, yang lebih membuatku panas dingin, adalah saat ia membungkukkan
badan. Karena handuknya kelewat kekecilan, saat membungkuk handuknya
menjadi tambah terangkat. Jadilah aku bisa melihat pahanya yang membulat
sampai ke pangkalnya. Juga pantatnya yang besar dan pinggul yang
mengundang pesona. Bahkan, ah, aku juga bisa melihat memek ibu mertuaku
yang terlihat mengintip di antara kedua pangkal pahanya. Kemaluan ibu
mertuaku terlihat gundul tanpa rambut. Tampaknya habis dicukur.
Melihat itu, gairahku langsung naik cukup tinggi. Jakunku menjadi turun
naik dan denyut jantung menjadi tidak teratur. Maklum sudah cukup lama
tidak mendapat layanan istri di tempat tidur. Saat itu aku nyaris nekad
memeluk ibu mertuaku dari belakang dan melampiaskan hasrat yang
menggelegak. Namun takut dianggap kurang ajar dan bisa mengundang
masalah bila ibu mertuaku tidak berkenan, aku pendam keinginan itu. Juga
karena penampilan ibu selama ini sangat pendiam dan rajin menasehati
hingga aku tidak berani kurang ajar.
Dari waktu ke waktu, sikap istriku bukannya membaik tetapi semakin
buruk. Ia hanya keluar kamar saat makan atau mandi dan selebihnya
dihabiskan untuk tidur atau nonton TV yang juga tersedia di kamar. Ia
juga menolak bila diajak berhubungan badan. Jadilah kami sering
bertengkar seperti yang terjadi malam itu.
"Kalau kamu tetap dingin, biar nanti aku mencari pelacur untuk
menggantikanmu," kataku dalam nada tinggi karena tak bisa menahan emosi.
Gairahku malam itu memang sudah naik ke ubun-ubun. Tetapi Neni hanya menjawab santai.
"Aku kan sudah minta Mas Hen mencari wanita lain yang bisa melayani. Aku nggak apa-apa kok," ujarnya enteng.
Emosiku meledak. Sambil keluar kamar pintu kututup kencang hingga
menimbulkan bunyi yang cukup keras. Ingin rasanya aku menstater motor
keluar untuk mencari pelacur di pinggir jalan atau ke hotel yang
menyediakan wanita panggilan. Tetapi kemana, aku tidak punya pengalaman?
Dan lagi malam sudah sangat larut. Untuk meredam emosi, kuambil sebotol
air dingin dan kubawa ke kandang ayam di belakang rumah. Tempat yang
paling kusenangi untuk melamun dan mengurangi rasa gundah.
Benar emosiku mulai reda setelah beberapa tegukan air dingin membasahi
kerongkonganku. Terlebih setelah sebatang rokok kunyalakan dan kuhisap.
Berteman asap rokok, anganku mengembara memikirkan nasib perkawinanku
yang porak-poranda gara-gara kanker yang diderita istriku. Namun saat
aku hendak menyalakan batang rokok berikutnya, suara ibu mertua
mengagetkanku.
"Bertengkar lagi ya Hen," lirih suara ibu mertuaku terdengar.
Wanita itu ternyata telah berdiri tak jauh dari tempat aku duduk di kegelapan kandang ayam.
"I.. Ibu belum tidur? Maafkan saya Bu," ujarku sedikit tergagap.
"Bukan kamu yang salah. Tetapi memang Neni yang keterlaluan. Padahal ibu
sudah berkali-kali mengingatkan," katanya lagi seolah menyalahkan diri
sendiri.
Ibu mertuaku mendekat dan duduk menjejeriku di kursi panjang. Mungkin ia tidak enak dengan sikap putrinya itu.
"Saya emosi karena Neni lebih senang kalau saya tidur dengan pelacur. Saya pusing sekali..,"
"I.. Iya Ibu tahu. Pasti kamu sangat pusing," ujarnya lirih mencoba memahami perasaanku.
Sasaat kami hanya diam membisu. Aku dengan pikiranku yang kesal dengan
ulah istrik. Sedang ibu mertuaku? Entah menerawang kemana pikiranbnya.
Sampai akhirnya, "Kalau mau ibu punya usul.., ta.. tapi," ibu mertuaku
nampak ragu untuk menyelesaikan kalimatnya.
"Usul apa Bu? Katakan saja..,"
"Begini. Dulu, kalau ibu hamil muda, bawaannya enggan melayani bapaknya
Neni. Bahkan dipaksa pun ibu menolak. Dan itu berlangsung sampai tiga
bulan. Maka bapak jadi tidak kuat. Akhirnya sebagai jalan keluar, setiap
ingin bapak minta itunya dikocok oleh tangan ibu sampai keluar," ujar
ibu mertuaku.
"Saya sudah minta begitu Bu, tetapi Neni tetap tidak mau," kataku menukas.
Ibu mertuaku terdiam. Ia ingin menyampaikan sesuatu tetapi terlihat
ragu. Wajahnya menunduk. Sampai akhirnya, "Hen, ibu kasihan sama kamu.
Biarlah ibu yang bantu mengocok, biar pusingnya hilang," ujarnya lirih.
Sungguh aku sangat senang dengan tawaran ibu mertuaku. Daripada mengocok
sendiri sambil membayangkan paha dan pantat besar ibu mertuaku. Kini
dia yang malah menawarkan diri untuk mengocok kontolku. Pasti lebih
asyik, pikirku.
"Te.. Terus kapan Bu? Saat ini kepala saya sangat pusing." Memang sejak tadi gairahku naik cukup tinggi.
"Sekarang juga boleh," katanya menawarkan.
Tadinya ibu mertuaku mau melakukannya di tempat kami duduk di dekat
kandang ayam. Tapi kutolak dengan alasan kurang leluasa dan tempatnya
kurang nyaman. Akhirnya kami sepakat melakukan di kamar tamu, karena di
kamar yang ditempati ibu mertuaku ada Lani putriku. Ibu memintaku untuk
lebih dulu mengecek apakah Neni sudah pulas apa belum. Katanya, nggak
enak kalau sampai Neni tahu. Dan Neni ternyata sudah pulas mendengkur
hingga aku langsung menyusul ibu mertuaku ke kamar tamu.
Di dalam kamar, ibu mertua menungguku duduk di tepian ranjang. Tapi ia
nampak canggung, mungkin malu atau entah apa yang membersit di
kepalanya. Namun aku tak peduli dan segera kulepaskan sarung dan baju
kaos yang kukenakan. Dengan rudal yang telah tegak mengacung dan tubuh
bugil telanjang bulat aku duduk merapat ke ibu mertuaku.
"Ayolah Bu, biar pusingku hilang. Katanya mau mengocok?" kataku sambil
menarik tangan ibu mertuaku dan menempelkannya di penisku.
Melihat kontolku yang ukurannya lumayan besar dan telah tegak mengacung,
wanita itu agak tertegun melihatnya. Wajahnya kian tertunduk tapi
kuyakin ia mengagumi alat kejantananku itu. Mengagumi kepala penisku
yang membonggol dan batangnya yang cukup besar dihiasi urat-urat
menonjol.